Setelah membawakan ayat ke-56 dalam surat adz-Dzariyat yang berisi keterangan mengenai tujuan penciptaan jin dan manusia, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah melanjutkan penyebutan dalil berikutnya yang berisi hikmah diutusnya para rasul.
Hikmah Diutusnya Para Rasul
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa hikmah diutusnya para rasul adalah dalam rangka mengajak umat mereka untuk beribadah kepada Allah semata dan melarang dari peribadatan kepada selain-Nya (lihat al-Jami’ al-Farid lil As’ilah wal Ajwibah fi ‘Ilmi at-Tauhid, hal. 10)
Faidah dari ayat ini adalah :
– Risalah atau misi kerasulan bersifat umum mencakup seluruh umat.
– Agama para nabi adalah satu yaitu tauhid.
– Beribadah kepada Allah tidaklah benar kecuali dengan mengingkari thaghut
(lihat al-Jami’ al-Farid, hal. 11)
Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas dalam bentuk sesuatu yang disembah, diikuti, atau ditaati selain dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Thaghut itu ada banyak dan gembongnya ada lima, yaitu :
– Iblis -semoga Allah melaknatnya-
– Orang yang merubah-rubah hukum Allah
– Orang yang menetapkan hukum selain dengan hukum yang diturunkan Allah
– Orang yang menyeru orang lain untuk beribadah kepada dirinya
– Orang yang disembah selain Allah dalam keadaan dia ridha terhadap hal itu
(lihat al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 20)
Adapun orang yang disembah oleh manusia sementara dia tidak ridha dengan hal itu maka dia tidaklah disebut sebagai thaghut. Seperti contohnya nabi ‘Isa ‘alaihis salam, Hasan dan Husain -yang disembah oleh kaum Syi’ah Rafidhah, pent- demikian pula hamba-hamba yang salih selain mereka dan para wali Allah. Sebab mereka tidaklah ridha dijadikan sebagai sesembahan tandingan bagi Allah. Meskipun demikian peribadatan yang ditujukan kepadanya tetap disebut peribadatan kepada thaghut, karena yang dimaksud thaghut dalam konteks ini adalah setan. Sebab setan lah yang memerintahkan mereka untuk melakukannya (lihat I’anatul Mustafid, 1/36)
Di dalam kalimat ‘sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’ terkandung itsbat/penetapan dan nafi/penolakan. Yang dimaksud itsbat adalah menetapkan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Dan yang dimaksud nafi adalah menolak sesembahan selain Allah. Kedua hal inilah yang menjadi pokok dan pilar kalimat tauhid laa ilaha illallah. Dalam ‘laa ilaha’ terkandung nafi dan dalam ‘illallah’ terkandung itsbat. Sebagaimana dalam ‘sembahlah Allah‘ terkandung itsbat dan pada kalimat ‘jauhilah thaghut’ terkandung nafi (lihat at-Tam-hiid, hal. 14)
Inilah metode al-Qur’an yaitu menyandingkan nafi dengan itsbat. Menolak segala sesembahan selain Allah dan menetapkan ibadah untuk Allah semata. Penafian semata bukanlah tauhid, demikian pula itsbat tanpa nafi juga bukan tauhid. Tidaklah disebut tauhid kecuali apabila di dalamnya terkandung penafian dan penetapan. Seperti inilah hakikat tauhid itu. Sehingga, pada ayat di atas terkandung keterangan mengenai agungnya kedudukan tauhid dan bahwasanya hujjah telah ditegakkan kepada segenap hamba (lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid, hal. 14)
Di dalam kalimat ‘jauhilah thaghut’ terkandung makna yang lebih dalam daripada sekedar ucapan ‘tinggalkanlah thaghut’. Karena di dalamnya terkandung sikap meninggalkan syirik dan menjauhkan diri darinya (lihat ad-Dur an-Nadhidh, hal. 11)
Di dalam kalimat ‘jauhilah thaghut’ juga terkandung makna untuk meninggalkan segala sarana yang mengantarkan kepada syirik (lihat I’anatul Mustafid, 1/36)
Apabila kita mencermati keadaan umat manusia di dunia ini akan kita jumpai bahwasanya kebanyakan manusia telah berpaling dari beribadah kepada Allah menuju ibadah kepada thaghut. Mereka berpaling dari ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju ketaatan kepada thaghut dan tunduk mengikutinya (lihat Fat-hul Majid, hal. 32)
Sebagaimana halnya Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya -sebagaimana disebutkan dalam surat adz-Dzariyat ayat 56- maka demikian pula halnya Allah mengutus para rasul dalam rangka memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Nya semata. Para rasul diutus oleh Allah bukan dalam rangka mengajarkan tata cara bertani, bercocok tanam, industri, dsb. Para rasul juga tidaklah diutus hanya dalam rangka mengajari manusia untuk mengakui keberadaan Allah dan menetapkan sifat-sifat rububiyah-Nya (lihat I’anatul Mustafid, 1/35)
Tauhid yang menjadi tujuan penciptaan dan hikmah diutusnya para rasul itu adalah tauhid uluhiyah atau disebut juga tauhid al-qashd wa ath-thalab -mengesakan Allah dalam hal keinginan dan tuntutan, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah; beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya- adapun tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat -disebut juga tauhid al-‘ilmi wal i’tiqad– maka kebanyakan umat manusia telah mengakuinya. Dalam hal tauhid uluhiyah -atau tauhid ibadah- kebanyakan mereka menentangnya. Ketika rasul berkata kepada mereka (yang artinya), “Sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A’raaf : 65) mereka berkata (yang artinya), “Apakah kamu datang kepada kami agar kami hanya beribadah kepada Allah saja.” (al-A’raaf : 70). Orang-orang musyrik Quraisy pun mengatakan (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja. Sesungguhnya hal ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad : 5) (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4)
Ayat di atas -dalam surat an-Nahl ayat 36- juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya amal tidaklah benar kecuali apabila disertai dengan sikap berlepas diri dari peribadatan kepada segala sesembahan selain Allah (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4)
Demikian pembahasan singkat yang dimudahkan bagi kami untuk bisa menyusunnya, semoga bermanfaat bagi diri kami dan segenap kaum muslimin di mana pun berada. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 27 Jumadal Ula 1437 H
———-
Donasi Pembangunan Masjid
Kaum muslimin yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan masjid yang akan dijadikan sebagai pusat dakwah dan pembinaan mahasiswa dan masyarakat bisa menyalurkan donasi kepada panitia pendirian Graha al-Mubarok – Forum Studi Islam Mahasiswa – melalui rekening di bawah ini :
Bank Syariah Mandiri (BSM) no rek. 706 712 68 17
atas nama Windri Atmoko
Bagi yang sudah mengirimkan donasi mohon untuk mengirimkan konfirmasi kepada panitia di no :
0857 4262 4444 (sms/wa)
Dengan format konfirmasi sbb :
Nama, alamat, tanggal transfer, besar donasi, pembangunan masjid
Contoh : Farid, Jogja, 25 Maret 2016, 1 Juta, Pembangunan Masjid
Demikian informasi dari kami, semoga bermanfaat.
– Panitia Pendirian Graha al-Mubarok
– Forum Studi Islam Mahasiswa (FORSIM)
– Ma’had al-Mubarok
Alamat Sekretariat : Wisma al-Mubarok 1. Jl. Puntadewa, Ngebel RT 07 / RW 07 Tamantirto Kasihan Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah selatan kampus terpadu UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) – barat asrama putri (unires) UMY – selatan SD Ngebel.
E-mail : forsimstudi@gmail.com
Fanspage Facebook : Kajian Islam al-Mubarok
Website : www.al-mubarok.com
NB : Insya Allah dalam waktu dekat ini akan diurus proses perataan tanah wakaf dan hal-hal yang berkaitan dengan wakaf dan pembentukan yayasan yang akan mengelola masjid tersebut.
Informasi seputar pendirian masjid dan wakaf tanah bisa menghubungi :
0896 5021 8452 (Yudha, Ketua Umum FORSIM)
———–